Tech News

Breaking News
recent

REVIEW : PROMETHEUS


"Big things have small beginnings." - David

Perkenalkan, Adam Prakasa atau @dwiadam nama yang dipilihnya untuk dipakai di Twitter. Dia adalah mahasiswa kedokteran bertubuh tinggi gempal yang menggemaskan sehingga saya sering memanggilnya ‘Paman Gembul’. Beberapa dari Anda mungkin sudah mengenalnya dengan cukup baik, meski saya yakin sebagian besar dari Anda baru sekali ini mendengar namanya. Sampai disini, Anda tentu bertanya-tanya, “apa yang sangat spesial dari sosok Dwiadam sehingga Cinetariz merasa perlu memerkenalkannya di awal review ‘Prometheus’?”. Well, yang perlu Anda ketahui, Dwiadam hanyalah mahasiswa biasa yang sangat menggemari film seperti saya, dia bukanlah seorang publik figur maupun selebtwit, tidak ada yang khusus dari dirinya, kecuali... Dia adalah penggemar fanatik franchise Alien. Silahkan saja tanyakan apapun tentang franchise itu kepadanya, khususnya apabila bersinggungan dengan Ellen Ripley (Sigourney Weaver) atau heroine. Saya bahkan menaruh curiga dia merupakan bagian dari tim marketing di 20th Century Fox. Sejak proyek Prometheus diumumkan, Adam nyaris tidak pernah absen untuk memberikan perkembangan terbaru seputar proyek ini. Ketika akhirnya Prometheus rampung dan siap rilis di bioskop-bioskop seluruh dunia, setiap hari setiap jam setiap menit setiap detik, Dwiadam berkicau mengenai Prometheus. Aktifkan fitur ‘mute’ jika sudah tidak tahan. 

Pada awalnya, saya tidak terlalu menantikan Prometheus. Alien dan Aliens adalah film yang nyaris sempurna ditilik dari berbagai sisi, sementara sekuel dan spin-off-nya sama sekali tidak penting. Kekecewaan terhadap 4 film sebelumnya membuat saya cenderung skeptis terhadap jilid teranyar ini sekalipun kicauan Dwiadam yang bersifat persuasif sebenarnya membuat saya sedikit tergoda untuk mengintip ada apa saja di jilid teranyar ini. Yang kemudian membuat saya tertarik untuk segera menjajalnya adalah tatkala mengetahui Ridley Scott akan kembali duduk di bangku penyutradaraan, 33 tahun setelah Alien rilis. Dan, jajaran pemainnya pun menggoda. Segera saja Prometheus masuk ke dalam jajaran ‘kuda hitam’ untuk Summer Movies 2012. Pertanyaan yang seringkali diapungkan menjelang detik-detik perilisan adalah apakah Prometheus ini adalah sebuah sekuel, prekuel, reboot atau spin-off? Anda harus menyaksikannya sendiri untuk mengetahui jawabannya meskipun Scott telah menekankan bahwa ini adalah sebuah film yang berdiri sendiri. Saya sepakat dengan Ridley Scott untuk hal ini. Anda tidak perlu menyaksikan semua film yang tergabung dalam Alien franchise sebelum menyaksikan film ini, walaupun akan lebih baik bagi Anda dalam memahami film apabila telah menyaksikan Alien. 

Dengan adegan pembuka yang layaknya gabungan antara The Tree of Life dan 2001: A Space Odyssey - yang itu berarti indah dan mencengangkan - Prometheus berjalan cukup lambat selama kurang lebih satu jam pertama. Jon Spaihts dan Damon Lindelof mengajak penonton untuk membahas sebuah topik yang berat, hakikat eksistensi manusia. Sebuah topik yang nampaknya akan menjadi sasaran empuk bagi FPI apabila diterapkan dalam film Indonesia lantaran memertanyakan Tuhan sebagai pencipta manusia. Provokatif. Ditemukannya sebuah peta gugusan bintang pada tahun 2089 oleh dua arkaeologis, Elizabeth Shaw (Noomi Rapace) dan Charlie Holloway (Logan Marshall-Green), di Isle of Skye mendorong CEO Weyland Corp. yang ambisius, Peter Weyland (Guy Pearce), untuk membentuk sebuah tim ekspedisi dengan misi untuk mengungkap misteri seputar awal mula kehidupan manusia. Sekali ini bukan Nostromo yang digunakan untuk mengangkut para kru, melainkan Prometheus. Selain Shaw dan Holloway, turut bergabung bersama mereka yakni Meredith Vickers (Charlize Theron), Janek (Idris Elba), dan sebuah robot dengan emosi layaknya manusia yang kompleks, David (Michael Fassbender). Penonton mulai mendapatkan teror yang sesungguhnya sesaat setelah Prometheus mendarat di LV 223 dan mendapati kenyataan sesungguhnya mengenai Sang Pencipta. 

Dengan desain poster berupa pahatan besar menakutkan berbentuk kepala, penonton awam yang tidak tahu menahu soal film ini bisa jadi akan melontarkan komentar-komentar seperti, “film yang absurd”, “apa sih maunya film ini?”, atau “jelek, aksinya kurang”. Saya mendengarnya beberapa kali usai menonton Prometheus. Bukan sesuatu yang mengherankan mengingat film ini memiliki plot yang terbilang rumit, dialog-dialog filosofis, serta alur yang bergerak cukup lambat setidaknya di paruh awal. Kemunculan badai secara mendadak memberikan petunjuk kepada penonton bahwa Scott telah siap untuk meningkatkan tensi film. Inilah yang ditunggu-tunggu sejak awal film. Teror yang mencekam pun melingkupi kapal Prometheus. Singkirkan Alien dan Aliens dari pikiran Anda, maka ketegangan yang ditawarkan oleh Scott disini akan memuaskan Anda. Selama Anda tidak menaruh ekspektasi yang terlampau tinggi, Prometheus akan sanggup membuat Anda kagum. Yang menjadikannya kian lezat, Prometheus didukung oleh visualisasi yang memukau dan akting dari para pemainnya yang ciamik; Noomi Rapace sanggup keluar dari bayang-bayang Sigourney Weaver dengan menciptakan dinamika sendiri untuk karakternya, Charlize Theron dingin dan misterius, dan Michael Fassbender selalu berhasil menjadi pusat perhatian di setiap scene-nya. Sayangnya, tak semua pertanyaan yang muncul sedikit demi sedikit bermunculan seiring berjalannya film dijawab secara memuaskan oleh Scott. Masih ada yang mengganjal di hati. Apakah ini berarti akan ada sebuah sekuel? Bisa jadi. Pun begitu, terlepas dari naskahnya yang meninggalkan cukup banyak lubang, Prometheus masih mampu tertambal dengan tampilan visual yang menakjubkan, aksi yang menghibur serta akting brilian dari ketiga pemain utamanya. Dan apabila setelah menonton Prometheus Anda masih belum paham, silahkan layangkan pertanyaan kepada ahlinya, @dwiadam.

Exceeds Expectations

2D atau 3D? Wajib ditonton dalam 3D. Titik.



Nyolong film

Nyolong film

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.